Seuntai Wasiat untuk Penuntut Ilmu (Bag. 1)
بسم الله الرحمن الرحيم
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang
Segala puji bagi Allah. Kami memuji-Nya, meminta pertolongan, memohon ampun, dan berlindung kepada Allah dari keburukan diri kita dan dari kejelekan perbuatan kita. Siapa yang Allah beri petunjuk, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya. Dan siapa yang Allah sesatkan, maka tidak ada yang dapat memberi petunjuk. Aku bersaksi tiada tuhan yang berhak disembah, kecuali Allah semata, yang tidak memiliki sekutu. Dan aku bersaksi bahwa Nabi kita Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Semoga Allah melimpahkan banyak selawat kepada beliau, beserta keluarga, dan para sahabatnya hingga hari kiamat.
Amma ba’du.
Saya memohon kepada Allah yang Mahaagung, Pemilik Arasy yang mulia, untuk menjadikan saya dan kalian (saudara-saudaraku yang mulia) yang semoga diberi taufik dan kebahagian, termasuk orang yang apabila diberi, bersyukur; apabila diuji, bersabar; dan jika berbuat dosa, beristigfar. Sebab, orang yang diberi taufik adalah orang yang memiliki ketiga hal tersebut.
Saudara-saudaraku yang mulia, salah satu tanda seorang hamba muslim diberi taufik adalah hatinya melek dan hidup. Ia mengetahui tujuannya diciptakan dalam kehidupan ini. Ia melek dan sadar serta tidak lalai. Ia mengetahui bahwa eksistensinya di kehidupan ini adalah untuk suatu tujuan yang besar, yaitu menghamba kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, dengan menaati dan menjalankan perintah Allah dan mengikuti petunjuk Nabi-Nya, Muhammad ﷺ. Sehingga, untuk Allah, ia habiskan waktu dan hari-hari yang Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah berikan. Kemudian, berpisah dari dunia ini dalam keadaan diridai Allah.
Demikianlah, realita besar yang hanya disadari hamba-hamba Allah yang ikhlas, berkat taufik dari Allah Jalla Wa’ala. Tidak banyak orang yang melek dan sadar terhadap realita ini.
Manusia dan jalan hidupnya
Saudara-saudaraku sekalian, masing-masing manusia menjalani kehidupan ini (sesuai jalan hidupnya). Nabi ﷺ bersabda,
كل الناس يغدو: فبائعٌ نفسَه فمُعتِقُها أو مُوبِقها
“Semua orang berjalan mempertaruhkan dirinya, antara membebaskan dirinya atau membinasakannya.”[1]
Semua orang bangun di pagi hari. Keluar dari rumahnya. Ada yang pergi ke arah kanan. Ada pula yang ke arah kiri. Ada yang pergi demi agamanya. Dan ada yang pergi demi urusan dunianya. Ada yang spiritnya untuk akhirat. Dan ada yang spiritnya untuk dunia. Setiap orang berjalan. Akan tetapi, hanya orang yang diberi taufiklah yang mengetahui hakikat yang terpampang di hadapannya, lalu mengamalkannya. Mengilmuinya, lalu berpegang teguh. Mengetahui hakikat, lalu memegangnya dengan erat. Sehingga, ia jadikan seluruh hidupnya sebagai wakaf untuk taat kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Allah Jalla Wa’ala menciptakan engkau untuk beribadah kepada-Nya, agar engkau menjadi hamba-Nya. Allah menciptakan hatimu untuk merenungkan ayat-ayat Allah, baik yang dilantunkan atau yang ada di alam semesta. Allah memberikanmu mata ini untuk membaca kitab Allah ‘Azza Wajalla, untuk membaca hadis Rasulullah ﷺ, bukan untuk kau palingkan melihat hal-hal yang diharamkan Allah.
Allah memberikanmu tangan ini agar kau angkat bermunajat kepada Allah Jalla Wa‘ala, agar kau genggam saat salat, dan agar kau letakkan untuk bersujud. Allah menciptakan tangan ini untuk tujuan tersebut, bukan untuk main-main atau selainnya. Allah memberikanmu kaki ini agar kau gunakan berjalan menuju rumah Allah untuk melaksanakan salat fardu yang Allah wajibkan. Melangkah menuju ketaatan kepada Allah.
Allah ‘Azza Wajalla tiada menciptakannya untuk bermain-main dan urusan dunia. Jadikanlah urusan dunia sebagai tujuan sekunder. Adapun tujuan primer, semua anggota badanmu wajib engkau wakafkan untuk ketaatan kepada Allah ‘Azza Wajalla. Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ إِنَّ صَلَاتِى وَنُسُكِى وَمَحْيَاىَ وَمَمَاتِى لِلَّهِ رَبِّ ٱلْعَـٰلَمِينَ
“Katakanlah (Muhammad), ‘Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh alam.’” (QS. Al-An’am: 162)
Hanya kepada Allah kita kembali
Semua orang Islam mengatakan inna lillah wa inna ilahi raji’un. Apakah makna kalimat ini? Kita harus benar-benar melihat dan memikirkan kata-kata yang kita ucapkan. Innaa lillah bermakna kita adalah milik Allah ‘Azza Wajalla. Kita adalah hamba Allah dan kita akan berpisah dari dunia ini untuk bertemu dengan-Nya.
مَن كَانَ يَرْجُوا۟ لِقَآءَ ٱللَّهِ فَإِنَّ أَجَلَ ٱللَّهِ لَـَٔاتٍۢ ۚ
“Barangsiapa mengharap pertemuan dengan Allah, maka sesungguhnya waktu (yang dijanjikan) Allah pasti datang.” (QS. Al-‘Ankabut: 6)
Berdiri di hadapan Allah Subhanahu Wa Ta’ala adalah suatu kepastian. Engkau akan bertemu Rabbmu dan Dia akan menghisab amalmu.
Saudara-saudara sekalian, ini adalah realita yang perlu kita letakkan di pelupuk mata kita. Sebab, banyak orang yang tak paham realita ini, tersesat di berbagai arus kehidupan dunia. Seperti kata pepatah, “Kompas hilang, tak tahu arah dituju.” Akan tetapi, apabila engkau diberi taufik oleh Allah ‘Azza Wajalla, kemudian engkau beriman dan mengesakan-Nya serta mengikuti Rasul-Nya Muhammad ﷺ , maka engkau berada dalam kebaikan. Berjalan dalam kehidupan dengan jelas ke arah depan.
أَفَمَن يَمْشِى مُكِبًّا عَلَىٰ وَجْهِهِۦٓ أَهْدَىٰٓ أَمَّن يَمْشِى سَوِيًّا عَلَىٰ صِرَٰطٍۢ مُّسْتَقِيمٍۢ
“Apakah orang yang merangkak dengan wajah tertelungkup yang lebih terpimpin (dalam kebenaran) ataukah orang yang berjalan tegap di atas jalan yang lurus?” (QS. Mulk: 24) Yaitu, jalan yang jelas. Engkau menjalani kehidupan ini dengan jelas di hadapanmu,
قُلْ هَـٰذِهِۦ سَبِيلِىٓ أَدْعُوٓا۟ إِلَى ٱللَّهِ ۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا۠ وَمَنِ ٱتَّبَعَنِى ۖ وَسُبْحَـٰنَ ٱللَّهِ وَمَآ أَنَا۠ مِنَ ٱلْمُشْرِكِينَ
“Katakanlah (Muhammad), ‘Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan bashīrah.” (QS. Yusuf: 108)
‘Alā bashīrah maknanya seseorang hidup dengan penglihatan yang ia gunakan untuk melihat hal-hal secara hakikatnya. Tidak tertipu dengan dunia ini dan pernak-pernik perhiasannya. Tidak tertipu dengan suatu hal yang dapat memalingkannya dari realita yang gamblang, apa tujuan ia diciptakan. Ia akan menghadapi realita tersebut setelah ia berpindah alam dari dunia ini dengan penerangan dari Rabb-nya
أَفَمَن كَانَ عَلَىٰ بَيِّنَةٍۢ مِّن رَّبِّهِۦ كَمَن زُيِّنَ لَهُۥ سُوٓءُ عَمَلِهِۦ وَٱتَّبَعُوٓا۟ أَهْوَآءَهُم
“Maka, apakah orang yang berpegang pada keterangan yang datang dari Tuhannya, sama dengan orang yang dijadikan terasa indah baginya perbuatan buruknya dan mengikuti keinginannya?” (QS. Muhammad: 14)
Ia memiliki penerangan dan kejelasan pada setiap langkah yang ia tempuh di kehidupan ini.
Lupa Allah, lupa diri sendiri
Demikianlah, demi Rabb Pencipta dan Pemilik langit, hanya Dialah yang dapat memberikan taufik orang yang bahagia. Sayangnya, banyak orang yang tidak demikian. Banyak orang yang bangun dan beraktivitas dalam kehidupan ini, dan tidur lalu bangun, kemudian pergi lalu kembali, dalam keadaan tidak tahu arah. Ia lupa terhadap dirinya manakala ia melupakan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan melupakan realita yang ia hadapi. Yaitu, statusnya sebagai seorang hamba Allah, yang diciptakan untuk menghidupi realita itu dengan cara mengesakan Allah. Hal itu dikarenakan Allah ‘Azza Wajalla membuat ia lupa terhadap dirinya. Betapa anehnya, ada orang yang hidup, tetapi ia lupa terhadap dirinya sendiri.
Mungkin ada yang bertanya-tanya, “Bagaimana bisa orang lupa dengan dirinya sendiri?” Orang bisa lupa telponnya, lupa pulpennya, lupa kunci rumah, tetapi lupa dirinya sendiri? Bagaimana bisa? Ya. Ia lupa kemaslahatan dirinya dan tidak berusaha menyelamatkan dirinya dari azab Allah Subhanahu Wa Ta’ala, sehingga ia tersesat dan tak tahu ke mana ia pergi. Ia menyangka dirinya sedang sibuk. Jika ditanya, ia selalu bilang ‘saya sibuk’. Tetapi sibuk dalam hal apa? Apakah ia sibuk dalam hakikat tujuan ia diciptakan? Atau sibuk hal lain?
Saudaraku sekalian, di sinilah letak petunjuk dan ketersesatan,. Semua orang dalam hidup ini, pada semua urusan mereka, setiap gerak dan diam, serta semua tindak-tanduk mereka, semuanya berjalan di atas kaidah petunjuk dan ketersesatan.
Ada orang yang diberi hidayah dan ada orang yang tersesat. Orang yang mendapat hidayah ialah orang yang Allah beri petunjuk. Dan orang yang tersesat ialah orang yang Allah sesatkan. Saudaraku sekalian, demi Allah, orang yang jujur kepada Rabbnya, maka Dia akan penuhi janji-Nya kepadanya. Jika kamu jujur kepada Allah, Allah akan beri ganjaran. Orang yang mendatangi Allah, Allah tidak akan mengusirnya. Siapa yang menyambut Allah, Allah akan menyambutnya. Allah Dialah Yang Maha Menerima syukur hamba-Nya.
أَمَّا مَنْ أَعْطَىٰ وَٱتَّقَىٰ صَدَّقَ بِٱلْحُسْنَىٰ فَسَنُيَسِّرُهُۥ لِلْيُسْرَىٰ
“Maka, barangsiapa memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan (adanya pahala) yang terbaik (surga), maka akan Kami mudahkan baginya jalan menuju kemudahan (kebahagiaan).” (QS. Al-Lail: 5-7)
***
Penerjemah: Al-Faqir Ilallah Faadhil Fikrian Nugroho
Artikel asli: https://muslim.or.id/91346-seuntai-wasiat-untuk-penuntut-ilmu-bag-1.html